Kegiatan penangkapan ikan di wilayah perairan Indonesia sudah mendekati kondisi yang kritis. Tekanan penangkapan yang meningkat dari hari ke hari semakin mempercepat penurunan stok sumberdaya ikan. Tingginya tekanan penangkapan khususnya di pesisir pantai telah menyebabkan menurunnya stok sumber daya ikan dan meningkatnya kompetisi antar alat penangkapan ikan yang tidak jarang menimbulkan konflik diantara nelayan. Sebagai akibat dari menurunnya pendapatan, nelayan melakukan berbagai macam inovasi dan modifikasi alat penangkapan ikan untuk menutupi biaya operasi penangkapannya.
Pelanggaran penggunaan alat tangkap dan metoda penangkapan ikan bukan berita baru lagi dalam kegiatan penangkapan ikan. Salah satunya adalah pelanggaran penggunaan trawl (pukat harimau) secara illegal di beberapa wilayah peraiaran.
Pemerintah (dalam hal ini DKP) sebenarnya tidak menutup mata atas semua kejadian pelanggaran itu. Penegakan hukum terhadap pelanggar memang sudah dilakukan. Namun, kesulitan mengontrol seluruh aktivitas nelayan khususnya di daerah terpencil dan perbatasan telah mendorong meningkatnya pelanggaran penangkapan ikan (illegal fishing).
Bila kita menengok sejarah pengelolaan sumberdaya ikan, fakta menunjukkan bahwa kegagalan pengelolaan beberapa stok sumberdaya baik secara regional maupun dunia berpangkal dari kesalahan kita dalam perencanaan dan antisipasi awal terhadap dampak pengoperasian alat tangkap dan dinamikanya.
Penemuan dan penggunaan purse seine dan echosounder pada perikanan pelagis contohnya. Penggunaan purse seine yang dilengkapi echosounderdalam waktu yang sangat singkat telah mampu mempercepat pemenuhan kebutuhan akan ikan dunia. Namun dibalik itu, pengembangan alat tangkap yang tak terencana dan dinamika perubahannya yang tanpa kontrol telah mempercepat punahnya sumberdaya ikan pelagis seperti sardin dan anchovy (clupeids).
Demikian juga dengan penemuan pukat harimau, yang diyakini sebagai alat tangkap paling produktif, ternyata juga mempunyai dampak negatif terhadap biota lain yang tak termanfaatkan dan lingkungan sekitarnya.
Disisi lain, sejarah juga mencatat bahwa kesalahan dalam mengantisipasi dinamika alat tangkap juga telah menyebabkan punahnya sumberdaya ikan. Bangkrutnya perikanan anchovy di Peru telah memberi pelajaran kepada kita bahwa kesalahan dalam mengantisipasi perilaku nelayan dalam merespon setiap perubahan baik internal maupun eksternal stok sumberdaya ikan telah merusak keberlanjutan kegiatan perikanan pelagis.
Bertolak dari beberapa pengalaman tersebut, kita dapat menarik suatu kesimpulan bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan berkelanjutan hanya dapat dilakukan jika pengoperasian suatu alat tangkap direncankan secara matang dan terencana.
Keputusan untuk pengoperasian alat tangkap (termasuk teknologinya) harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan diperlukan evaluasi mendalam sebelumnya. Karena, setiap pengoperasin unit penangkapan ikan akan berdampak baik terhadap sumberdaya ikan yang ditangkap maupun lingkungannnya, sehingga perlu dikaji sampai sejauh mana dampaknya dan bagaimana meminimalkan dampaknya.
Evaluasi dampak pengoperasian alat tangkap minimal harus mampu menjawab tiga dampak utama, yaitu :
1. Dampak terhadap lingkungan,
2. Dampak terhadap kelimpahan sumberdaya
3. Dampak terhadap target sumberdaya ikan itu sendiri.
Disamping mengevaluasi dampak pengoperasian alat tangkap, perencanaan pemanfaatan sumberdaya juga harus mempertimbangkan aspek dinamika upaya penangkapan ikan. Kesalahan mengantisipasi dinamika upaya penangkapan ikan akan berdampak pada apa yang dinamakan sebagai berlebihnya kapasitas perikanan atau overcapacity.
Rejim open access yang diterapkan sebagian besar negara pada masa lalu yang membiarkan jumlah dan teknologi alat tangkap berkembang tanpa kontrol ditambah subsidi pemerintah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan nelayan di negara berkembang telah mendorong percepatan terjadinya overcapacity di sebagian besar perikanan dunia.Overcapacity yang juga dapat diartikan sebagai berlebihnya armada penangkapan atau tingginya teknologi penangkapan yang digunakan dalam operasi penangkapan ini telah menjadi isu hangat para pakar perikanan pada tahun-tahun terakhir dalam upaya memperbaiki sistem pengelolaan sumberdaya ikan yang ada selama ini.
Kalau selama ini pengelolaan sumberdaya ikan hanya dikonsentrasikan pada upaya bagaimana mencapai hasil tangkapan yang maksimum, maka pengelolaan perikanan sekarang sudah mempertimbangkan keseimbangan pemanfaatan sumberdaya ikan baik secara ekonomi, ekologi dan lingkungan.
Alat tangkap ikan sebagai sarana utama dalam pemanfaatan ikan diatur sedemikian rupa sehingga tidak berdampak negatif baik pada pemanfaat dan pengguna sumberdaya ikan, biota, dan lingkungan perairan serta pengguna jasa perairan lainnya.
Penggunaan alat tangkap ikan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan harus benar-benar memperhatikan kesetimbangan dan meminimalkan dampak negatif bagi biota lain yang kurang termanfaatkan. Hal ini penting dipertimbangkan mengingat hilangnya biota dalam struktur ekosistem laut akan mempengaruhi secara keseluruhan ekosistem yang ada.
Praktisi teknologi penangkapan ikan sudah memulai mengembangkan alat tangkap yang dimaksud, baik dengan melakukan modifikasi atau membuat rancangan alat tangkap yang ramah lingkungan. Konsep-konsep alat tangkap ikan yang selektif dan ramah lingkungan seperti Turtle Excluder Device (TED), yang di Indonesia dimodifikasi menjadi Bycatch Excluder Device (BED) dan alat tangkap yang selektif sudah mulai di perkenalkan.
Disamping teknologi itu sendiri, adalah penting bagi pemanfaat sumberdaya ikan untuk memahami pengelolaan penangkapan ikan yang meliputi perencanaan, pengoperasian, dan optimalisasi pemanfaatan ikan. Rekayasa alat tangkap harus mempertimbangkan aspek-aspek kondisi sumberdaya ikan yang ada, habitat ikan, peraturan perundang-undangan, dan optimasi pemanfaatan sumberdaya ikan agar supaya teknologi yang diciptakan tidak mubazir atau bahkan merusak sumberdaya ikan dan lingkungannya.